Humor Adalah...

Karikatur sindiran atau kritikan yang bernuansa humor 

HUMORBERITA.COM - Judul Humor Adalah...diambil dari tulisan Didiek Rahmanadji, Dosen Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang dengan judul Asli Sejarah, Teori, Jenis, dan Fungsi Humor.

Artikel Humor karya Didiek Rahmanadji diambil (belum izin, sekaligus izin di sini, tapi kalau tidak diizinkan akan dihapus di HumorBerita.com) dari laman http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/Sejarah-Teori-Jenis-dan-Fungsi-Humor.pdf.

Tampaknya tulisan humor oleh Didiek Rahmanadji ini diunggah di website Univeristas Negeri Malang pada bulan Oktober 2009.

Tulisan Didiek Rahmanadji soal Humor ini menarik untuk semua kalangan masyarakat. Masyarakat umum, rakyat, pelajar, akademisi, pengusaha hingga pejabat. 

Bahkan Mbah Google begitu tertarik hingga menempatkan tulisan Didiek ini di urutan pertama dalam pencarian kata Humor sebagai tulisan akademisi.  

Penasaran yuk kita baca, mengapa kita harus tertawa. Tapi bacanya jangan sambil tertawa ya...nanti jadi tertawaan orang lain. 

Selamat membaca.

SEJARAH, TEORI, JENIS, DAN FUNGSI HUMOR 

(Didiek Rahmanadji Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang)

Abstract: This article discusses some issues pertaining to humor. It touches on the assumption that human beings are bound to be in search of happiness a portion of which is met by enjoying funny and amusing humors. The article will talk about some theories about humor. It will also address kinds of humors which include personal humors, slang humors, and artistic humors. The article will also address the functions of humor which encompass the notions of communication message, media critique, and anti- depressant .

(Keywords: happiness, humor, media critique, anti-depressant). 

Naluri manusia untuk mencari kegirangan, kesenangan, kegembiraan, dan hiburan sudah dimiliki sejak masih bayi. Sejak se- orang bayi dilahirkan, ibunya segera melatihnya untuk menyukai kegembiraan. Hampir setiap saat, ibu tersebut mengusahakan dengan giat agar sang anak dapat tertawa girang. Ia sering menirukan tingkah laku binatang, mengeluarkan bunyi aneh- aneh, dan memperagakan hal-hal yang tidak masuk akal, selalu merangsang agar anak- nya suka tertawa. Ketika sang anak sudah beranjak dewasa, kebutuhan akan kegembiraan itu sudah melekat erat dalam dirinya. Manusia hidup dengan naluri kuat untuk mencari kegembiraan dan hiburan (Hendarto, 1990). 

Mereka yang dapat mencari kegembiraan, biasanya tidak berminat untuk mencari definisi tentang sesuatu yang disebut lucu . Agaknya, bagian yang tersulit untuk dirumuskan adalah hal-hal yang menyangkut perbedaan-perbedaan penga-laman pribadi tentang sesuatu yang menyebabkan seseorang tertawa atau tersenyum. Pengalaman tentang kelucuan pada dasarnya merupakan pengalaman personal (Sumarthana, 1983). 

Kelucuan juga selalu kena-mengena dengan hal-hal yang tidak wajar atau umum. Yang wajar dan umum, tidak memerlukan perbaikan atau tidak lagi menyediakan wadah untuk menjadi lucu. Hal- hal yang aneh dan nyeleneh dapat menjadikan humor (Setiawan, 1990). Semua itu tidak menutup kemungkinan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini berpotensi untuk dijadikan bahan lelucon. 

Kelucuan atau humor berlaku bagi manusia normal, untuk menghibur karena hiburan merupakan kebutuhan mutlak bagi manusia untuk ketahanan diri dalam proses pertahanan hidupnya (Widjaja, 1993). 

Dengan demikian, keberadaan humor sebagai sarana hiburan sangat penting. Humor dapat tampil mantap sebagai penyegar pikiran dan sekaligus sebagai penyejuk batin, dan penyalur uneg-uneg Rahmanadji, Sejarah, Teori dan Fungsi Humor 215 215 (Pramono, 1983). Humor dapat juga memberikan suatu wawasan yang arif sambil tampil menghibur. Humor dapat pula menyampaikan siratan menyindir atau suatu kritikan yang bernuansa tawa. Humor juga dapat sebagai sarana persuasi untuk mempermudah masuknya informasi atau pesan yang ingin disampaikan sebagai sesuatu yang serius dan formal (Gauter, 1988). 

Dengan mengerti dan menyadari hal- hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa humor memiliki suatu potensi penting. Humor dapat dijadikan suatu bahan untuk dikaji sebagai semacam ilmu . Semakin kritis suatu masyarakat, semakin tinggi pula permintaan mereka akan humor (Hassan, 1981). Dimensi keseriusan humor tampak pada penekanan syarat intelektual bagi pelaku atau penikmatnya (Manser, 1989). 

SEJARAH HUMOR 

Humor mungkin sudah ada sejak manusia mengenal bahasa, atau bahkan lebih tua. Humor sebagai salah satu sumber rasa gembira, mungkin, sudah menyatu dengan kelahiran manusia. Jika dilacak asal-usulnya, humor berasal dari kata Latin umor yang berarti cairan . Sejak 400 SM, orang Yunani Kuno beranggapan bahwa suasana hati manusia ditentukan oleh empat macam cairan di dalam tubuh, yaitu: darah (sanguis), lendir (phlegm), empedu kuning (choler), dan empedu hitam (melancholy). 

Perimbangan jumlah cairan tersebut menentukan suasana hati. Kelebihan salah satu di antaranya akan membawa pada suasana tertentu. Darah menentukan suasana gembira (sanguine), lendir menentukan suasana tenang atau dingin (phlegmatic), empedu kuning menentukan suasana marah (choleric), dan empedu hitam untuk suasana sedih (melancholic). Tiap cairan tersebut mempunyai karakteristik tersendiri dalam mempengaruhi setiap orang. Kekurangan darah menyebabkan orang tidak pemarah. Kelebihan empedu kuning menyebabkan jadi angkuh, pendendam, ambisius, dan licik (Manser, 1989). 

Teori mengenai cairan itu merupakan upaya pertama untuk menjelaskan tentang sesuatu yang disebut humor. Namun demikian, ajaran yang disusun oleh Plato itu tampaknya sudah tidak ada hubungannya dengan pengertian umum di zaman sekarang ini. Dalam perkembangan selanjutnya, selama berabad-abad, lahirlah segala macam teori yang berupaya untuk mendefinisikan humor, yang mengacu pada artian humor seperti yang sekarang lazim dimaksudkan, yang ada hubungannya dengan segala sesuatu yang membuat orang menjadi tertawa gembira (Setiawan, 1990). Perkembangan humor di Inggris sudah terlembaga sejak abad ke-16 (Calley, 1997). 

Pada masa tersebut, terdapat penulis dan pemain teater humor yang sering disebut pemain komedi. Komedian yang terkenal yaitu Ben Johnson, yang satu karyanya berjudul Man Out of His Humor . Karya tersebut memperlihatkan dua bentuk humor yang berbeda dalam kehidupan, yaitu humor dalam kata-kata dan humor dalam tingkah laku. Abad ke-17 merupakan zaman yang sangat pesat bagi perkembangan humor di Inggris, terutama dalam hal teater komedi dan naskah humor. Teater komedi akhirnya menjadi tradisi masa selanjutnya.

 Pertengahan abad ke-18, teater humor bermetamorfosa menjadi satire. Sampai akhir abad ke-18, bentuk teater etrsebut menjadi mode di seluruh daratan Eropa. Abad ke-19, humor di Eropa menentukan bentuk baru dalam wujud komik. Abad itu ditandai de-ngan munculnya berbagai macam komik humor dari Jerman, yang kemudian menjadi kegemaran seluruh daratan Eropa bahkan sampai ke daratan Amerika dan Asia.

Di daratan Eropa dan sebagian Amerika, humor sudah dianggap menjadi Rahmanadji, Sejarah, Teori dan Fungsi Humor 215 bagian dari kehidupan (Gauter, 1988). Bahkan dianggap sebagai suatu seni yang setara dengan seni lainnya. Setelah peranan humor meningkat, terutama dalam komik dan komedi, setara satire, pada awal abad ke-20; humor memasuki era baru. Pada awal abad itu, humor sangat dominan dalam teater komedi dan film. 

Sampai saat itu, media massa film masih merupakan ladang subur bagi kehidupan humor. Komedi dan satire tetap bertahan di kalangan tertentu. Charlie Chaplin, yang dilahirkan April 1889, merupakan seorang komedian terkenal di dunia humor modern. Film yang dibintanginya memberi inspirasi yang besar sekali dalam perkembangan humor pada umumnya. Humor menjadi salah satu objek penelitian semenjak awal abad ke-20. Berbagai tulisan mengenai humor telah diterbitkan para ilmuwan dari berbagai cabang ilmu sosial, terutama dari perspektif psikologi (Hendarto, 1990).

Di Indonesia, secara informal, humor juga sudah menjadi bagian dari kesenian rakyat, seperti ludruk, ketoprak, lenong, wayang kulit, wayang golek, dan sebagainya. Unsur humor di dalam kelompok kesenian menjadi unsur penunjang, bahkan menjadi unsur penentu daya tarik. Humor yang dalam istilah lainnya sering disebut dengan lawak, banyolan, dagelan, dan sebagainya, menjadi lebih terlembaga setelah Indonesia merdeka, seperti munculnya grup-grup lawak Atmonadi Cs, Kwartet Jaya, Loka Ria, Srimulat, Surya Grup, dan lain-lain (Widjaja, 1993). 

Perkembangan lain terjadi pada media massa cetak, baik majalah maupun surat kabar. Tahun 60-an terbit beberapa majalah humor, namun tidak bertahan lama. Di antaranya adalah majalah STOP. Surat kabar membuka rubrik khusus untuk humor. Cerita-cerita lucu, anekdot, karikatur, dan kartun sering dijumpai pada media massa cetak (Kusmartiny, 1993). 

TEORI HUMOR 

Teori humor jumlahnya sangat banyak, tidak satu pun yang persis sama dengan yang lainnya, tidak satu pun juga yang bisa mendeskripsikan humor secara menyeluruh, dan semua cenderung saling terpengaruh (Setia-wan, 1990). 

Dewasa ini, pengertian humor yang paling awam , ialah sesuatu yang lucu, yang menimbulkan kegelian atau tawa.

Humor identik dengan segala sesuatu yang lucu, yang membuat orang tertawa. Pengertian awam tersebut tidaklah keliru. Dalam Ensiklopedia Indonesia (1982), seperti yang dinyatakan oleh Setiawan (1990), “Humor itu kualitas untuk menghimbau rasa geli atau lucu, karena keganjilannya atau ketidakpantasannya yang menggelikan; paduan antara rasa kelucuan yang halus di dalam diri manusia dan kesadaran hidup yang iba dengan sikap simpatik.”

Lebih lanjut, teori humor dibagi dalam tiga kelompok (Manser, 1989), meliputi: 

(1)teori superioritas dan meremehkan, yaitu jika yang menertawakan berada pada posisi super; sedangkan objek yang ditertawakan berada pada posisi degradasi (diremehkan atau dihina). Plato, Cicero, Aristoteles, dan Francis Bacon (dalam Gauter, 1988) mengatakan bahwa orang tertawa apabila ada sesuatu yang menggelikan dan di luar kebiasaan. Menggelikan diartikan sebagai sesuatu yang menyalahi aturan atau sesuatu yang sangat jelek. Lelucon yang menimbulkan ketertawaan, juga mengandung banyak kebencian. Lelucon selalu timbul dari kesalahan/kekhilafan yang menggoda dan kemarahan; 

(2)teori mengenai ketidakseimbangan, putus harapan, dan bisosiasi. Arthur Koestler (Setiawan, 1990) dalam teori bisosiasinya mengatakan bahwa hal yang mendasari semua bentuk humor adalah 216 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 2, Agustus 2007 bisosiasi, yaitu mengemukakan dua situasi atau kejadian yang mustahil terjadi sekaligus. Konteks tersebut menimbulkan bermacam-macam asosiasi; 

(3)teori mengenai pembebasan ketegangan atau pembebasan dari tekanan. Humor dapat muncul dari sesuatu kebohongan dan tipuan muslihat; dapat muncul berupa rasa simpati dan pengertian; dapat menjadi simbol pembebasan ketegangan dan tekanan; dapat berupa ungkapan awam atau elite; dapat pula serius seperti satire dan murahan seperti humor jalanan. Humor tidak mengganggu kebenaran. 

Fuad Hasan dalam tulisan Humor dan Kepribadian (1981) membagi humor dalam dua kelompok besar, yaitu: (1) humor pada dasarnya berupa tindakan agresif yang dimaksudkan untuk melakukan degradasi terhadap seseorang; (2) humor adalah tindakan untuk melampiaskan perasaan tertekan melalui cara yang ringan dan dapat dimengerti, dengan akibat kendornya ketegangan jiwa. 

Arwah Setiawan (dalam Suhadi, 1989), mengatakan sebagai berikut: “Humor itu adalah rasa atau gejala yang merangsang kita untuk tertawa atau cenderung tertawa secara mental, ia bisa berupa rasa, atau kesadaran, di dalam diri kita (sense of humor); bisa berupa suatu gejala atau hasil cipta dari dalam maupun dari luar diri kita. Bila dihadapkan pada humor, kita bisa langsung tertawa lepas atau cenderung tertawa saja; misalnya tersenyum atau merasa tergelitik di dalam batin saja. Rangsangan yang ditimbulkan haruslah rangsangan mental untuk tertawa, bukan rang- sangan fisik seperti dikili-kili yang mendatangkan rasa geli namun bukan akibat humor . 

Persoalan humor oleh beberapa orang dianggap sebagai persoalan teori estetik , yang dicoba untuk diterangkan lewat berbagai teori tentang humor. Teori humor mencoba menerangkan bagaimana suatu hal dapat membangkitkan tawa atau geli pada seseorang. 

Seperti yang diungkapkan Setiawan (1990) dalam majalah Astaga, teori humor digolongkan menjadi tiga macam, yaitu: (1) teori keunggulan; seseorang akan tertawa jika ia secara tiba-tiba memperoleh perasaan unggul atau lebih sempurna dihadapkan pada pihak lain yang melakukan kesalahan, kekurangan atau mengalami ke-adaan yang tidak menguntungkan. Kita dapat tertawa terbahak-bahak pada waktu melihat pelawak terjatuh, terinjak kaki temannya serta melakukan berbagai kekeliruan dan ketololan; (2) teori ketaksesuaian; perasaan lucu timbul karena kita dihadapkan pada situasi yang sama sekali tak terduga atau tidak pada tempatnya secara mendadak, sebagai perubahan atas situasi yang sangat diharapkan. Harapan dikacaukan, kita dibawa pada suatu sikap mental yang sama sekali berbeda. Sebagai contoh adalah rasa humor yang timbul karena kita melihat kartun yang menggambarkan seseorang yang sedang mancing. 



Gambar pertama, menunjukkan orang dengan penuh harapan menunggu umpannya dilahap ikan. Gambar kedua menunjukkan rasa gembira orang itu karena ada tanda-tanda bahwa ikan yang besar telah menarik kailnya. Gambar ketiga, menunjukkan tiba-tiba, orang itu tercebur ke sungai. Rupanya, ikan yang amat besar telah menyeretnya ke dalam sungai; (3) teori kelegaan atau kebebasan; inti humor adalah pelepasan atas kekangan-kekangan yang terdapat pada diri seseorang. Bila dorongan-dorongan batin alamiah mendapat kekangan, dapat dilepaskan atau dikendorkan, misalnya lewat lelucon seks, sindiran jenaka atau umpatan, meledaklah perasaan menjadi tertawa. Rahmanadji, Sejarah, Teori dan Fungsi Humor 217 Kartun: Gambar lelucon yang mengundang senyum atau tawa 

Seorang pakar humor dari Semarang, Jaya Suprana, rupanya sudah menjadi korban kepusingan dalam upaya memahami segala benang ruwet tentang teori humor, yang akhirnya membuang segala pretensi untuk memasang perumusan apa pun terhadap humor. Ia dengan ringan dan riangnya mengumumkan bahwa humor itu indah, sebuah misteri dalam kehidupan yang tak perlu lagi dikekang dalam batasan pemahaman (Suhadi, 1989). 

JENIS HUMOR 

Jenis humor menurut Arwah Setiawan (1988) dapat dibedakan menurut kriterium bentuk ekspresi . Sebagai bentuk ekspresi dalam kehidupan kita, humor dibagi menjadi tiga jenis yakni (1) humor personal, yaitu kecenderungan tertawa pada diri kita, misalnya bila kita melihat sebatang pohon yang bentuknya mirip orang sedang buang air besar; (2) humor dalam pergaulan, mis- 218 BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 2, Agustus 2007 alnya senda gurau di antara teman, kelucuan yang diselipkan dalam pidato atau ceramah di depan umum; (3) humor dalam kesenian, atau seni humor. Humor dalam kesenian masih dibagi menjadi seperti berikut. Humor lakuan, misalnya: lawak, tari humor, dan pantomim lucu. Humor grafis, misalnya: kartun, kari- katur, foto jenaka, dan patung lucu. Humor literatur, misalnya: cerpen lucu, esei satiris, sajak jenaka, dan sema- camnya. 

Jika yang digunakan adalah kriterium maksud dalam komunikasi, dalam humor ada tiga jenis komunikasi, yaitu: (a) si penyampai memang bermaksud melucu, dan si penerima menerima sebagai lelucon; (b) si penyampai tidak bermaksud melucu, namun si penerima menganggap lucu; (c) si penyampai bermaksud melucu, namun si penerima tidak menganggap lucu (Manser, 1989). 

Dalam komunikasi, keberhasilan se- orang komunikator dalam berkomunikasi adalah, jika pesan yang disampaikannya cepat diterima oleh komunikan sesuai dengan apa yang dimaksud si komunikator. Keberhasilan seorang pelaku humor ketika stimulus humor yang dilancarkannya diterima oleh penerima humor sebagaimana yang dimaksud oleh pelaku humor tersebut. Stimulus humor adalah kelucuan yang mengharapkan senyum atau tawa sebagai efek dari penerima humor (Widjaja, 1993). 

Humor menurut kriterium indrawi berupa: (1) humor verbal; (2) humor visual; (3) humor auditif. Humor menurut kriterium bahan adalah: (1) humor politis; (2) humor seks; (3) humor sadis; (4) humor teka-teki. Humor kriterium etis dapat dibedakan sebagai: (1) humor sehat/humor yang edukatif; (2) humor yang tidak sehat. Humor berdasarkan kriterium estetis dapat dipisahkan menjadi: (1) humor tinggi (yang lebih halus dan tak langsung); (2) humor rendah (yang kasar, yang terlalu eksplisit). 

Jaya Suprana mengatakan bahwa dalam situasi yang tidak tepat, humor bukan sesuatu yang lucu. Bahkan humor belum tentu menyebabkan orang tertawa, misalnya humor seks. Bagi sebagian orang yang puritan, humor jenis itu dianggap tabu dan kam- pungan sehingga dianggap tidak lucu dan tidak menyebabkan tertawa. Humor menjadi kurang ajar bila menggunakan kondisi fisik orang sebagai objek. Humor yang baik adalah humor yang bisa membawa atau menuju kepada kebaikan. 

Kemudian, Bapak Psikoanalisis Freud, (dalam Suhadi, 1989), memilih-milih humor berdasarkan dua variabel, yaitu: (1) motivasi, yang berwujud komik, tergolong sebagai lelucon yang tanpa motivasi, karena kelucuan hanya diperoleh dari teknik melucu saja; dan humor yang tergolong lelucon dengan motivasi; (2) kelompok sasaran yang dijadikan lelucon, humor terdiri atas: humor etnik, humor seks, dan humor politik. 

Sedangkan, menurut Pramono (1983), humor dapat digolongkan menjadi: (1) humor menurut penampilannya, yang terdiri atas: humor lisan, humor tulisan/gambar, humor gerakan tubuh; (2) menurut tujuan dibuatnya atau tujuan pesannya, humor terdiri atas: humor kritik, humor meringankan beban pesan, dan humor semata-mata pesan.

FUNGSI HUMOR 

Menurut Sujoko (1982) humor dapat berfungsi untuk: (1) melaksanakan segala keinginan dan segala tujuan gagasan atau pesan; (2) menyadarkan orang bahwa dirinya tidak selalu benar; (3) mengajar orang melihat persoalan dari berbagai sudut; (4) menghibur; (5) melancarkan pikiran; (6) membuat orang mentoleransi sesuatu; (7) membuat orang memahami soal pelik. 


(Rahmanadji, Sejarah, Teori dan Fungsi Humor 219 Karikatur: Gambar sindiran atau kritikan yang bernuansa humor) 

James Danandjaya (dalam Suhadi, 1989), mengatakan sebagai berikut. “Fungsi humor yang paling menonjol, yaitu sebagai sarana penyalur perasaan yang menekan diri seseorang. perasaan itu bisa disebabkan oleh macam-macam hal, seperti ketidak- adilan sosial, persaingan politik, ekonomi, suku bangsa atau golongan, dan kekangan dalam kebebasan gerak, seks, atau kebebasan mengeluarkan pendapat. Jika ada ketidakadilan bia- sanya timbul humor yang berupa protes sosial atau kekangan seks, bia- sanya menimbulkan humor mengenai seks.” 

Beberapa fungsi humor yang sejak dulu sudah dikenal masyarakat kita antara lain, fungsi pembijaksanaan orang dan penyegaran, yang membuat orang mampu memusatkan perhatian untuk waktu yang lama. Fungsi itu dapat kita amati di dalam pertunjukan wayang, di mana punakawan muncul untuk menyegarkan suasana. Humor punakawan biasanya mendidik serta membijaksanakan orang (Hendarto, 1990). 

Dari keterangan tersebut, dapatlah dijelaskan bahwa penyaluran ketegangan lewat humor sangat positif karena membawa kesejahteraan jiwa. Jika semua perasaan tidak puas dan ketegangan yang dialami tidak disalurkan, akan membawa bencana, tidak hanya bagi yang memendam, tetapi juga untuk orang lain atau masyarakat sekitarnya. 

Sujoko (1982) mengemukakan bahwa di Indonesia kalangan mahasiswa gemar menggunakan humor sebagai sarana kritik sosial. Kegemaran itu menunjukkan bahwa mahasiswa adalah personal yang sedang dididik untuk menjadi manusia yang kritis, serta harus bersikap skeptis sehingga jalan pikirannya akan menjadi ilmiah, tidak begitu saja menerima semua yang dihidangkan. 

Dengan ditanamkannya sikap itu, tidak heran apabila mereka akan protes bila melihat orang yang seharusnya menjadi penuntun mereka, malah menyeleweng atau membuat terobosan seenak hatinya, serta bersifat munafik (Sumarthana, 1983). 

Sangat beralasan jika mereka (mahasiswa) memilih humor sebagai media protes sosial sebab media itu paling sesuai dengan kepribadian tradisional bangsa kita yang tidak suka dikritik secara langsung. Dengan adanya sikap itu, di negara kita, protes tidak langsung mempunyai pengaruh yang lebih ampuh dibandingkan dengan protes yang langsung. Kritik yang disampaikan secara tertulis sering menimbulkan bencana, berbeda jika kritik disajikan dalam bentuk humor. 

Protes sosial dalam humor tidak mungkin ditanggapi secara serius karena yang menyuarakan sama sekali tidak bertanggung jawab. Tanggung jawab dalam protes sosial berupa humor sudah diambil kolektif sehingga kolektifanlah yang bertanggung jawab. Sementara itu, Jatiman (dalam Suhadi, 1989), sosiolog dan staf pengajar UI, mengatakan sebagai berikut. 

“Di samping sebagai sarana kritik sosial, adakalanya, humor juga dibuat sebagai alat aktualisasi diri. Dalam lingkungan tertentu, segolongan orang yang tidak berdaya untuk melemparkan kritik langsung, mencoba melakukannya dengan menciptakan humor tentang yang bersangkutan . 

Fungsi humor yang lain adalah sebagai rekreasi. Dalam hal ini, humor berfungsi untuk menghilangkan kejenuhan dalam hidup sehari-hari yang bersifat rutin. Sifatnya hanya sebagai hiburan semata. Selain itu, humor juga berfungsi untuk menghilangkan stres akibat tekanan jiwa atau batin (Setiawan, 1990).

Emil Salim (dalam Suhadi, 1989) berpendapat seperti berikut. “Selain merupakan salah satu cara untuk menyampaikan kritik, juga merupakan bagian dari proses menjalin komunikasi sosial antara manusia. Untuk komunikasi yang sifatnya serius, pesan-pesan yang akan disampaikan biasanya tidak mudah terjalin antara kedua belah pihak. Jika pertemuan merupakan pertemuan baru, maka medium humor dalam tahap komunikasi akan mempercepat terbukanya pintu keakraban.” 

Bahkan, Kartono Muhamad (dalam Suhadi, 1989) berpendapat sebagai berikut. “Humor yang baik adalah humor yang dapat menertawakan diri sen- diri, atau humor otokritik. Meskipun membuat diri pribadi sakit hati, humor otokritik merupakan sesuatu yang menunjukkan kedewasaan sikap. Artinya, mampu memberi kritik terhadap diri sendiri, serta dapat pula secara terbuka menerima opini orang lain.” 

Pada akhirnya, untuk menjadikan humor yang baik , harus melihat situasi dan kondisi. Humor dilakukan dengan tidak terlalu berlebihan, agar mutu humor tetap terjaga. Humor sebagai sarana komunikasi sosial diharapkan dapat dipahami dan diterima oleh berbagai ragam individu. 

PENUTUP 

Humor merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia normal, sebagai sarana berkomunikasi untuk menyalurkan uneg- uneg, pelampiasan tekanan problematik yang dialami seseorang, dan memberikan suatu wawasan yang arif sambil tampil menghibur. Keberadaan humor dalam kehidupan manusia adalah sejak manusia mengenal bahasa, melakukan komunikasi antar-personal. Humor merupakan hal-hal yang lazimnya berhubungan dengan tersenyum atau juga tertawa. 

Teori humor amat beragam, namun secara menyeluruh semua cenderung ke maksud yang sama. Sesuatu yang menggelikan, mempesona, aneh, identik dengan kelucuan, dan, akhirnya, merangsang seseorang untuk tertawa atau tersenyum. Jenis humor meliputi humor personal, humor dalam pergaulan, dan humor dalam kesenian. Sedangkan, fungsi humor antara lain adalah sarana menyatakan gagasan, sarana kritik/protes sosial, media informasi dan media hiburan, serta menghilangkan stres karena tekanan jiwa/batin. 

DAFTAR RUJUKAN 

Calley, Alan. 1997. Humor in The Arts. London: Flower Press. 

Gauter, Dick. 1988. The Humor of Cartoon. New York: A Pegrige Book. Hassan, Fuad. 1981. Humor dan Kepribadian. Jakarta: Harian Kompas, 20 April, hal. 6. Hendarto, Priyo. 1990. Filsafat Humor. Jakarta: Karya Megah. 

Kusmartiny, Enny. 1993. Dibalik Karya Para Kartunis Indonesia. Jakarta: Majalah Femina, No.20 Th.XXI, hal. 41- 42. 

Manser, Juan. 1989. Dictionary of Humor. Los Angeles: Diego and Blanco Publisher Inc. 

Pramono. 1983. Karikatur-karikatur 1970- 1980. Jakarta: Sinar Harapan. 

Setiawan, Arwah. 1990. Teori Humor. Jakarta: Majalah Astaga, No.3 Th.III, hal. 34-35. 

Suhadi. 1989. Humor dalam Kehidupan. Jakarta: Gema Press. 

Sujoko. 1982. Perilaku Manusia dalam Humor. Jakarta: Karya Pustaka. Sumarthana. 1983. Anekdot-anekdot dalam Kehidupan Sehari-hari. Jakarta: Sinar Buana Press. 

Widjaja, A.W. 1983. Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta: Bumi Aksara.